Jumat, 05 Desember 2008

Ketika Kata Damai Itu Hilang.


Oleh; Mia Djalil

Panas menyertai perjalananku menuju kampung baru di bantaran Cilincing, di tempat itulah, Sabtu 30 Juni 2008, sosok perempuan bersepatu laras panjang, bertopi lusuh warna hitam buram, bajunya kumal melintas di hadapanku. Berjalan tergesa-gesa menenteng karung goni putih bertongkat besi baja, berukuran 1 meter. Melangkahkan kaki menuju tong sampah yang letaknya tidak jauh dari pinggiran jalan tempat di mana saya berdiri menunggu tumpangan ojek.

mengais sampah, memungut gelas-gelas aqua, kertas, dan baju-baju bekas yang masih terlihat lusuh. Satu persatu dimasukkan dalam karung. Bergegas saya menghampirinya dan menyapanya, "siang bu?" tinggal dekat sini ya? tidak... “Jauh di ujung sana”. Ibu dari mana? dari kampung, Jawabnya.

Jangan dekat-dekat, ibu bau sampah dan kotor. Sepanjang hari ini ibu sudah berjalan jauh mencari dan mengumpulkan sampah-sampah ini. Ucapnya. Nan jauh disana sebuah harapan. Hanya untuk makan pun hidup mencari makan semakin susah. Kerja keras tak henti-hentinya ia tekuni. Setiap hari ia bangun pagi, berjalan menelusuri jalan demi jalan, mencari sampah. Itulah kerjaan ibu Sugi.

Andaikan hidup ini bergelimang materi melulu, andaikan hidup ini adil untuk semua, pasti ibu tersebut tidak melakukan kerja ini. Tapi itu tak mungkin, sebab ia hanya bisa mengais sampah, menggali tumpukan sampah, membolak-balikkan sampah, memilih dan memasukkannya ke dalam karung goni itu.

“Pahit memang”, ia terlahir di tengah keluarga yang tak pernah mempunyai status ekonomi yang cukup, sementara harga makan dan minun semakin melambung tinggi. Penghasilan pun sangat kecil dengan berteman sampah ia hanya bisa beli makan secukupnya. Tak ada yang berharga selain makan untuk hari ini mengisi perut biar bisa hidup hari ini dan esok. Lingkaran kekerasan tak berhenti disitu, kadang ia kerap kali dipecungdangi oleh anak-anak jalanan yang juga sama-sama lapar. Belas kasihan rupanya tak berpihak pada ibu Sugi sebuah ketidakadilan telah menimpa hidupnya, beban ganda telah ia pikul, kekerasan telah ia nikmati semua menjadi tidak adil buat Ibu Sugi.

Terasa ada beban berat yang ia tanggung. Meninggalkan kampung halaman, adalah keberanian yang ia kumpulkan, terpisah dari sanak saudara dan keluarga. Hidup sendiri, sepi dan kelam. Bersembur malam nan temaran. Mimpi hidup di kota jauh lebih susah, dari pada hidup di kampung. Pilu dan peluh bersenandung dalam hati. Andaikan pemerintah mau berbagi mungkin derita hidup tak seperti ini, andaikan keberpihakan masih bersama orang seperti ibu Sugi, pasti ia tak memikul kerja seperti ini. andai tanahnya masih ada digenggamannya mungkin ia tak sesedih ini.

Ia hijrah ke Jakarta hanya untuk mengadu nasib siapa tahu keberuntungan berpihak padanya. Itu mimpi ia, ketika pertama kali datang ke Jakarta. Di kampung halamannya dulu, ia hidup dengan bercocok tanam. Pertanian tradisional menjadi andalannya, memproduksinya dan memasarkannya adalah kerja yang menyenangkan sekaligus mendamaikan hati, tapi….. itu dulu! Ternyata ibu Sugi, membutuhkan tanah dan hasilnya untuk kelangsungan hidup. Membutuhkan tanah untuk tempat tinggal dan hidup bersama sanak saudara.

Bagi suatu negara agrarian seperti Indoensia ini, tanah mempunyai fungsi yang amat penting untuk kemakmuran dan kesejahteraan. Ibu Sugi pergi jauh meninggalkan kampung kelahirannya sebab diatas tanahnya telah berdiri mall besar yang menjulang tinggi. Kekayaan alam telah disulap menjadi modal dalam ekonomi produksi kapitalis dan kaum tani diubah menjadi buruh upahan dan bahkan menjadi pengais sampah sebab sumber makanannya telah berubah menjadi mall. Tanah telah berubah fungsi dari alat produksi subsistensi rakyat menjadi alat produksi bagi kapitalis.

Jelas terlihat bahwa antara pengusaha dan modal besar dengan negara telah kawin-mawin mempunyai pertemuan yang saling menguntungkan satu sama lain. Ketiga pihak ini bersekutu demi pencapaian kepentingan bersama.

Terlantarlah Ibu Sugi, beralih propesi yang dulunya bersinergi dengan tanah, kini harus bergelut dengan sampah. Mengais dan mengais sampah telah ia tekuni sejak ia berdomisili di kampung baru Cilincing. Kota yang dekat di hati nan jauh dimata. Tempat dimana Ibu Sugi hidup, gubuk kecil mungil, beratapkan rumbia, berdinding papan bekas, bergelantungan karung goni tak ada tikar pun kursi, berlantaikan tanah merah beralaskan koran. Hidup sendiri, sunyi dan sepi.

“Damai”. Itu telah jauh dari anganku, “damai”, itu hanya ada ketika hasil pertanianku masih berlimpah. “damai”, itu telah hilang. Andaikan pengurus negara ini tahu……!

“Damai”, itulah kata yang terucap ketika pertama kali bertemu dengan Ibu Sugi, sangat damai hidup ini andaikan bisa memenuhi kebutuhan hidup, kebutuhan sandang-pangan. Dulu ia bisa memberikan kedamaian kepada keluarga. Dulu ia bisa menikmati lezatnya makanan. Sebab ia memiliki tanah untuk menanam kebutuhan makan. Dulu ia memiliki pekerjaan dengan mengelola lahan pertanian, di tanah itulah ia bergelut dan bermandikan keringat untuk menghasilkan uang dan makan.


Tapi itu terjadi tahun 2000-an, setalah lahan saya lenyap, kata damai itu hilang dalam hidup saya. Makan pun tak tentu, pekerjaan pun jadi berubah. Dulu saya bekerja berteman dengan tanah, sayuran, cabai hijau, dan tomat. Sekarang saya bekerja berteman dengan sampah, bau busuk, lumpur merah Cilincing dan genangan air di kala banjir datang gubuk saya tergenang air. Kerja-kerja itu, harus saya lalui sebab tak ada pilihan lain, bekerja mengais sampah adalah keahlian saya saat ini. Sambil berlalu meninggalkan saya, meninggal sejuta kegundahan dan keprihatinan. Pergilah engkau wahai perempuanku yang tegar, ucapku dalam hati.


2 komentar:

Mia Djalil mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Mia Djalil mengatakan...

Ceritanya menarik karna menggambarkan kehidupan sosial rakyat miskin yang membidik ketidakadilan yg terjadi pada perempuan dgn perspektif feminis namun ceritanya kurang dipersingkat/panjang sehingga menimbulkan kebosanan pada pembacanya.

Anita
Jl. Kejaksaan Agung RI
Blok F No. 9
Ps. Minggu Jakarta