Rabu, 24 Desember 2008

Daeng Bau, Perubahan Iklim dan Dampaknya terhadap Perempuan

MIa Djalil


“……Selama ini saya terus bekerja sebagai petani untuk membantu kebutuhan hidup keluarga. Bekerja sebagai petani sayuran, sudah menjadi pekerjaan yang telah saya tekuni sejak kecil, hingga sekarang. Saya bekerja bersama keluarga, ibu-ibu tetangga, disepanjang pesisir sungai Je’ne Berang Kabupaten Gowa. Bertani adalah jalan untuk memenuhi kebutuhan makanan keluarga saya, selain itu menjual hasil tanaman kepada penduduk sekitar sebagian saya makan……”
(Penuturan Daeng Bau
petani perempuan dari Gowa Sulsel)

Daeng Bau namanya, petani perempuan Makassar. Sejak kecil ia telah terlibat bersama keluarganya sebagai petani sayuran. Pekerjaan tersebut, telah ditekuni sejak tahun 80-hingga sekarang. Aktivitasnya bertani telah membuat Daeng Bau banyak belajar dari pengalaman hidup suka duka bercocok tanam yang kadang tidak membuahkan hasil bahkan rugi sama sekali.

Semua bermula dari pengalaman hidup, itu yang ia katakan pada saya saat pertama kali bertemu di acara Cop 13 di Bali. Tempat dimana ia bertutur tentang keprihatinan, keresahan, penderitaan dan kepedihan petani perempuan yang melanda warga Je’ne Berang. Bertani dengan susah payah mengharapkan tanaman pertanian bagus sungguh sulit. Sehingga tak mampu lagi untuk membantu kebutuahn hidup keluarga. Kondisi ini, menyebabkan kolpsnya ekonomi pertanian rakyat.

Ia berharapa bahwa suatu saat kehidupannya akan berubah dan bisa berhasil ”ya...pasti berhasil tapi entah kapan,” ucapnya dengan memelas. Berusaha dan bekerja tidak ada putus asa, adalah harapan hidup petani seperti Daeng Bau. Tak ada ”kelelahan,” untuk sebuah harapan yang menanti keajaiban ucapnya penuh keyakinan.

Begitu asyiknya bercerita, lapar terasa menggiring kami untuk beranjak dari balai menuju warung tenda yang ada dibelakang kampung Civil Society Forum. Pukul 13.15 di Balai itu, cerita tentang kampung halaman mewarnai perbincangan kami. Sesekali memandangi saya untuk meyakinkan bahwa apa yang ia katakan benar-benar menyulitkan hidupnya. Itu yang aku pahami.

Sekarang petani begitu sulit membaca kondisi alam. Kalau dulu petani selalu tepat menentukan musim tanam sekarang musim sering berubah dan panen gagal bahkan pola tanam juga sering bergeser. Serta curah hujan lebih banyak atau bahkan musim panas lebih lama.

Diatas meja jari-jari tangan Daeng Bau seperti akar pohon melingkari jemari saya, jelas terlihat jemari tersebut bekerja keras membolak-balikan bumi demi kebutuhan hidup anak dan suaminya. Berdua berangjak meninggal tempat tersebut, ”inilah nasib hidup,” petani seperti kami tetap saja tak berdaya. Hidup miskin mungkin telah menjadi takdir keluh Daeng Bau. Dari kecil kerjaan bertani ditekuni kelaurganya hingga ia berkeluarga kerjaan tersebut juga menjadi mawirasan yang tak jarang menyulitkan hidup.

Hampir semua hasil pertanian mengalami penurunan produksi dan terganggunya siklus akibat pola hujan dan anomali cuaca ekstrem, yang akhirnya berakibat pada pergeseran waktu tanam, musim tanam, dan pola tanam yang dilakukan oleh petani.

Kondisi tersebut berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Saat ini musim tidak bisa lagi di baca oleh petani. Kondisi cuaca tak bisa lagi ditebak. Petani sangat kerepotan untuk menanggulangi kerugian sebab hasil pertaniannya mengalami penurunan. Pengalaman pahit ini tidak saja dialami oleh Daeng Bau, tetapi masih banyak perempuan lain seperti Ibu Tuti dari kerawang, dimana tanaman padinya sampai sekarang mengalami kerugian, padahal pembelian bibit semua didapatkan dari hasil utang. Dan akhirnya harus tertatih-tatih membayar utang kepada para rentenir.

Beban berat telah dipikul petani perempuan seperti daeng Bau dan ibu Tuti. Tidak berhasilnya pertanian mereka menjadikan perempuan memiliki peran yang lebih besar ketimbang laki-laki, karena peran gendernya, dimana peran perempuan sering kali di tempatkan di ranah domestik, dan memegang kendali ekonomi dalam rumah tangga sebagai pengatur keuangan keluarga. Pembedaan peran gender tersebut menyebabkan perempuan rentan terhadap perubahan iklim sehingga mengakibatkan perempuan berada dalam situasi tidak adilan. Seperti diskriminasi, marginalisasi perempuan dan beban ganda. Kondisi inilah yang telah menyulitkan kehidupan perempuan terkait dengan perubahan iklim.

Cara-cara yang digunakan pemerintah untuk megurangi pemanasan global belum menjangkau dan mempertimbangkan kepentingan sebagian penduduk yang terkena dampak, khususnya perempuan. Dapat dikatakan perspektif yang digunakan oleh pemerintah dalam menyikapi pemanasan global dan perubahan iklim masih buta gender. Sementara perempuanlah yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim seperti yang terjadi pada Daeng Bau.

Sayangnya itu tidak menjadi suatu pokok bahasan utama dalam pembicaraan atau perdebatan tentang perubahan iklim global pada acara Cop 13 di Bali. Perempuan tetap saja tertinggal jauh dan belum dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait dengan perubahan iklim. Seringkali perempuan tidak menjadi prioritas utama untuk mendapatkan informasi, perempuan sering kali tertinggal bahkan dilupakan.

Padahal kerja-kerja bertani kebanyakan dilakukan oleh perempuan. Mulai dari proses perencanaan, pengelolaan sampai produksi semua dilaksanakan oleh perempuan. Namun kenyataannya perempuan tetap saja tidak terlihat dalam usaha-usaha mengatasi perubahan iklim.

Melihat kondisi tersebut, dapat dikatakan bahwa perubahan iklim menjadi sebuah fenomena yang tak bisa dibiarkan, sebab hal ini telah megancam kehidupan manusia terutama perempuan. Sehingga penting untuk memikirkan tindakan yang lebih konkrit dalam merespon situasi ini.


Tidak ada komentar: