tag:blogger.com,1999:blog-38907981481664136442024-03-05T19:52:36.620-08:00Aku akan menjadi bagian dari mereka yang berjuang untuk membela kaum yang tertindasMia Djalilhttp://www.blogger.com/profile/07722946553172624091noreply@blogger.comBlogger4125tag:blogger.com,1999:blog-3890798148166413644.post-75390463663893114582009-04-15T04:59:00.000-07:002009-04-15T05:18:35.827-07:00Aku dan Kerjaanku, sebuah realitas hidup..........<p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; line-height: normal; font-family: arial;"><span style="font-size: 12pt;">By Me.<br /></span></p><p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; line-height: normal; font-family: arial;"><span style="font-size: 12pt;"><br /></span></p><p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; line-height: normal; font-family: arial;"><span style="font-size: 12pt;">Perjalan hidup dan berliku telah membuatku berada dalam situasi yang mengharu biru........ Hari ini, adalah hari yang indah buatku, kerjaan baru, tantangan baru serasa menjadi teman hidup dalam pergulatan hidupku.<span style=""> </span>Kerjaan baru serasa mengiurkan, bekerja dengan tantagan serta bekerja dengan kreatifitas dan inovasi merupakan usaha nyata yang sering menempati posisi tertinggi dalam jiwa-jiwa yang menggeliat untuk meraih kesuksesan…dan masa depan sebuah hal yang memposona. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; line-height: normal; font-family: arial;"><span style="font-size: 12pt;"><o:p></o:p>Ide-ide yang ada merupakan hanturan yang tak berujung dari sebuah evolusi yang terukir dalam keseharianku, aku dan kerjaanku adalah sebuah wujud nyata dalam merevolusi diri kearah yang lebih baik, ya...aku bisa meraih masa depan dan harapan, karena disanalah mimpi itu ada, disanalah perwujudan cita-cita itu menantiku. Ya…aku harus yakin bahwa disanalah secercah harapan menantiku. Aku bekerja dengan segala impian dan target hidup, karena kerjaan telah menghantarkan jiwaku untuk memiliki masa depan yang lebih cerah. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; line-height: normal; font-family: arial;"><span style="font-size: 12pt;"><o:p></o:p>Menghantarkan masa depanku lebih jauh keatas sana....dan akan kudedikasikan segala ilmuku untuk orang-orang yang memerlukanya. ”aku” dan kerjaanku adalah sebuah masa depan tentang kehidupanku hari ini dan…………Hari selanjutnya. Tapi terkadang aku sendiri bingung memikirkan seperti apa masa depan itu sendiri. Yang aku tahu..bahwa hari ini dan sekarang adalah hidupku yang nyata karena aku masih bisa bernafas di tempat ini. </span></p>Mia Djalilhttp://www.blogger.com/profile/07722946553172624091noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3890798148166413644.post-28129803095655141102008-12-24T02:10:00.000-08:002008-12-24T02:16:57.015-08:00Daeng Bau, Perubahan Iklim dan Dampaknya terhadap Perempuan<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><i style=""><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";">MIa Djalil<br /></span></i></b></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><i style=""><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";"><br />“……Selama ini saya terus bekerja sebagai petani untuk membantu kebutuhan hidup keluarga. <span style=""> </span>Bekerja sebagai petani sayuran, sudah menjadi pekerjaan yang telah<span style=""> </span>saya tekuni sejak kecil, hingga sekarang. Saya bekerja bersama keluarga,<span style=""> </span>ibu-ibu tetangga,<span style=""> </span>disepanjang<span style=""> </span>pesisir sungai Je’ne Berang Kabupaten Gowa. Bertani adalah jalan<span style=""> </span>untuk memenuhi kebutuhan makanan keluarga saya, selain itu menjual hasil tanaman kepada penduduk sekitar sebagian saya makan……”<o:p></o:p><br />(Penuturan Daeng Bau <span style=""> </span></span></i></b><b style=""><i style=""><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="FI">petani perempuan<span style=""> </span>dari Gowa Sulsel)</span></i></b><b style=""><i style=""><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="FI"> </span></i></b><b style=""><i style=""><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p></o:p></span></i></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><i style=""><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="FI"><o:p></o:p></span></i></b><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="FI">Daeng Bau namanya, petani perempuan Makassar. Sejak kecil ia telah terlibat bersama keluarganya sebagai petani sayuran. <span style=""> </span>Pekerjaan tersebut, telah ditekuni sejak tahun 80-hingga sekarang. Aktivitasnya bertani telah membuat Daeng Bau banyak belajar dari pengalaman hidup suka duka bercocok tanam yang kadang tidak membuahkan hasil bahkan rugi sama sekali. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="FI"><o:p></o:p>Semua bermula dari pengalaman hidup, itu yang ia katakan pada saya saat pertama kali bertemu di acara<span style=""> </span>Cop<span style=""> </span>13 di Bali. Tempat dimana ia bertutur tentang keprihatinan, keresahan, penderitaan dan kepedihan petani perempuan yang melanda warga<span style=""> </span>Je’ne Berang.<span style=""> </span>Bertani dengan susah payah mengharapkan tanaman<span style=""> </span>pertanian bagus sungguh sulit. Sehingga tak mampu lagi untuk membantu kebutuahn hidup keluarga. Kondisi ini, menyebabkan kolpsnya ekonomi pertanian rakyat. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="FI"><o:p></o:p>Ia berharapa bahwa suatu saat<span style=""> </span>kehidupannya akan berubah <span style=""> </span>dan bisa berhasil ”ya...pasti berhasil tapi entah kapan,” ucapnya dengan memelas.<span style=""> </span>Berusaha dan bekerja tidak <span style=""> </span>ada putus asa, <span style=""> </span>adalah harapan hidup petani seperti Daeng Bau. Tak ada ”kelelahan,” <span style=""> </span>untuk sebuah harapan yang menanti keajaiban ucapnya penuh keyakinan. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="FI"><o:p></o:p>Begitu asyiknya bercerita,<span style=""> </span>lapar terasa menggiring kami untuk beranjak dari balai menuju warung tenda yang ada dibelakang kampung Civil Society Forum. Pukul 13.15 <span style=""> </span>di Balai itu, cerita tentang kampung halaman mewarnai perbincangan kami.<span style=""> </span>Sesekali memandangi saya untuk meyakinkan bahwa apa yang ia katakan benar-benar menyulitkan hidupnya. Itu yang aku pahami. <span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="background: yellow none repeat scroll 0% 50%; font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial;" lang="FI"><o:p></o:p></span><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="FI">Sekarang petani begitu sulit membaca kondisi alam. Kalau dulu petani selalu tepat menentukan musim tanam <span style=""> </span>sekarang<span style=""> </span>musim sering berubah <span style=""> </span>dan panen <span style=""> </span>gagal bahkan pola tanam juga sering bergeser. Serta curah hujan lebih banyak atau bahkan musim panas lebih lama. <span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="FI"><o:p></o:p>Diatas meja jari-jari tangan Daeng Bau seperti akar pohon melingkari<span style=""> </span>jemari saya, jelas terlihat jemari tersebut bekerja keras membolak-balikan bumi demi kebutuhan hidup anak dan suaminya. <span style=""> </span>Berdua berangjak meninggal tempat tersebut, ”inilah nasib hidup,” petani seperti kami tetap saja tak berdaya. Hidup miskin mungkin telah menjadi takdir keluh Daeng Bau. Dari kecil kerjaan bertani ditekuni kelaurganya hingga ia berkeluarga kerjaan tersebut juga menjadi mawirasan yang tak jarang menyulitkan hidup. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="FI"><o:p></o:p>Hampir semua hasil pertanian <span style=""> </span>mengalami penurunan produksi dan terganggunya siklus </span><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";">akibat pola hujan dan anomali cuaca ekstrem, yang akhirnya berakibat pada pergeseran waktu tanam, musim tanam, dan pola tanam yang dilakukan oleh petani.</span><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="FI"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="FI"><o:p></o:p>Kondisi tersebut berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. <span style=""> </span>Saat ini musim tidak bisa lagi di baca oleh petani. Kondisi cuaca tak bisa lagi ditebak. Petani sangat kerepotan untuk menanggulangi kerugian sebab hasil pertaniannya mengalami penurunan. Pengalaman pahit ini tidak saja dialami oleh Daeng <span style=""> </span>Bau, tetapi masih banyak perempuan lain seperti <span style=""> </span>Ibu Tuti dari kerawang, dimana tanaman padinya sampai sekarang <span style=""> </span>mengalami kerugian, padahal pembelian bibit semua didapatkan dari hasil utang. <span style=""> </span>Dan akhirnya harus tertatih-tatih membayar utang kepada para<span style=""> </span>rentenir.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="FI"><span style=""></span><span style=""></span><span style=""></span></span><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";">Beban berat telah dipikul petani perempuan seperti daeng Bau dan ibu Tuti.<span style=""> </span>Tidak berhasilnya pertanian mereka menjadikan perempuan memiliki peran yang lebih besar ketimbang laki-laki, karena peran gendernya, dimana peran perempuan sering kali di tempatkan di ranah <span style=""> </span>domestik, dan memegang kendali ekonomi dalam rumah tangga sebagai pengatur keuangan keluarga. Pembedaan peran gender tersebut menyebabkan perempuan rentan terhadap perubahan iklim sehingga mengakibatkan perempuan berada dalam situasi tidak adilan. Seperti diskriminasi, marginalisasi perempuan dan beban ganda. Kondisi inilah yang telah menyulitkan kehidupan perempuan terkait dengan perubahan iklim.</span><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="FI"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p></o:p>Cara-cara yang digunakan pemerintah untuk megurangi pemanasan global belum menjangkau dan mempertimbangkan kepentingan sebagian penduduk yang terkena dampak, khususnya perempuan. </span><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="SV">Dapat dikatakan perspektif yang digunakan oleh pemerintah dalam menyikapi pemanasan global dan perubahan iklim masih buta gender. Sementara perempuanlah yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim seperti yang terjadi pada Daeng Bau.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p></o:p>Sayangnya itu tidak menjadi suatu pokok bahasan utama dalam pembicaraan atau perdebatan tentang perubahan iklim global pada acara Cop 13 di Bali. Perempuan tetap saja tertinggal jauh dan belum dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait dengan perubahan iklim.</span><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";"> <span lang="FI">Seringkali perempuan tidak menjadi prioritas utama untuk mendapatkan informasi,<span style=""> </span>perempuan sering kali tertinggal bahkan dilupakan.<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="FI"><o:p></o:p>Padahal kerja-kerja bertani kebanyakan dilakukan <span style=""> </span>oleh perempuan. Mulai dari proses perencanaan, pengelolaan sampai produksi semua dilaksanakan oleh perempuan. <span style=""> </span></span><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="SV">Namun kenyataannya perempuan tetap saja tidak terlihat dalam usaha-usaha mengatasi perubahan iklim. </span><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="FI"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="SV"><o:p></o:p>Melihat kondisi tersebut, dapat dikatakan bahwa perubahan iklim menjadi sebuah fenomena yang tak bisa dibiarkan, sebab hal ini telah megancam kehidupan manusia terutama perempuan. Sehingga penting untuk memikirkan tindakan yang lebih konkrit dalam merespon situasi ini.</span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br /><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="SV"> <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="SV"><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p>Mia Djalilhttp://www.blogger.com/profile/07722946553172624091noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3890798148166413644.post-45999497321534562892008-12-23T05:47:00.000-08:002008-12-23T05:51:05.949-08:00Jalan Panjang Menuju Keadilan Terhadap PerempuanMia Djalil<br /><br />Pengakuan terhadap harkat dan martabat perempuan merupakan titik tolak perjuangan perlingdungan terhadap perempuan, dalam mewujudkan sebuah tatanan yang adil, damai, dan sejahtera. Penghargaan terhadap harkat dan martabat perempuan harus dilakukan secara terus-menerus, dimanapun dan oleh siapapun, tanpa membedahkan latar belakang sosial, budaya, ekonomi, politik dan jenis kelamin. Setiap bentuk pembatasan atas dasar kepentingn apapun, baik oleh negara maupun kekuatan apapun, harus dihindari, Sebab hal itu selain merusak kemanusian itu sendiri, juga akan menghancurkan kehidupan perempuan.<br /><br />Belum lagi masalah tersebut usai, persoalan baru yang juga muncul merusak kehidupan perempuan, adalah masalah perkembangan ekonomi global yang berwatak patriarki sering kali memunculkan berbagai kecendrungan yang makin merosotkan harkat dan martabat manusia bahkan telah meminggirkan upaya perlingdungan terhadap perempuan terutama hak perempuan untuk mendapatkan kehidupan yang layak.<br /><br />Pemusatan kekuasaan ekonomi global di negara-negara industri yang didikuiti dengan restrukturisasi industri pro - ekonomi global di berbagai negara miskin-telah mengakibatkan kelangkaan kerja dan memunculkan migrasi dan perdagangan buruh perempuan. Sehingga mengakibatkan ketergantungan pada produk industri yang telah dikendalikan oleh berbagai perusahaan multi nasional dan hal ini telah memunculkan proses kemiskinan dan hilangnya kesempatan dan kemampuan perempuan serta keluarganya untuk mempertahankan keberlanjutan hidupnya, belum lagi sistem pengelolaan negara yang memunculkan sitem sentralistik, represif, tertutup, korup, dan menghambat kebebasan atau ekspresi politik perempuan sehingga perempun tertinggal jauh dari akses untuk mendapatkan kesempatan dalam segala kehidupannya.<br /><br />Upaya menghadapi perkembangan sistem yang sistemik ini tidk hanya menjadi tanggung jawab perempuan tetapi juga merupakan tanggung jawab bersama laki-laki dan perempuan . Diperlukan upaya-upaya yang sistematis yang didasarkan pada semangat gerakan bersama untuk mengciptakan suatu tatanan sosial yang adil dan demokratis, yang didasarkan pada prinsip-prinsip hak azasi Manusia, keadilan, kesadaran, ekologis, kesadaran tentang keberagaman serta sikap anti diskriminasi dan anti kekerasan yang didasarkan pada sistem hubungan laki-laki dan perempuan yang setara, dimana keduanya dapat berbagi akses dan kontrol atas sumberdaya sosial, sumberdaya alam, budaya, ekonomi, dan politik secara adil.<br /><br />dalam mewujudkan mimpi tersebut, strategi yang dilakukan adalah membagun gerakan perempuan yang bisa mewadahi berbagai upaya menciptakan tatanan yang lebih adil dan demokratis bagi perempuan dan masyarakat secara umum. Sehingga pada gilirannya perempuan mampu mendorong perubahan kebijakan yang mengarah pada pemenuhan kepentingan perempuan dan kepentingan keadilan bagi masyarakat.<br />(disadur dari profil SP)<br /><br />"Hidup Terhormat tanpa kekerasan terhadap perempuan"<br /><br />Salam<br />MiaMia Djalilhttp://www.blogger.com/profile/07722946553172624091noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3890798148166413644.post-86455556446297415382008-12-05T01:49:00.000-08:002008-12-16T21:09:15.414-08:00Ketika Kata Damai Itu Hilang.<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg-ssUvXp5cEYokOJuA5YGSaRNz7pT05P7TUUF34mY5WUcET1m9-ChJux7fSSDv4WvOv1HydgZS23mrimJUx66_yruoYXxwyU881chxHeZMldpsUP8RORq-jw2y49RiWFztZn3PzS8pJ6c/s1600-h/CIMG1928.JPG"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg-ssUvXp5cEYokOJuA5YGSaRNz7pT05P7TUUF34mY5WUcET1m9-ChJux7fSSDv4WvOv1HydgZS23mrimJUx66_yruoYXxwyU881chxHeZMldpsUP8RORq-jw2y49RiWFztZn3PzS8pJ6c/s320/CIMG1928.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5280621598429306738" border="0" /></a><br /><span style="font-family:georgia;">Oleh; Mia Djalil </span><p style="font-family: georgia;" class="MsoNormal">Panas menyertai perjalananku menuju kampung baru di bantaran Cilincing, di tempat itulah, Sabtu 30 Juni 2008, sosok perempuan bersepatu laras panjang, <span style=""> </span>bertopi lusuh warna hitam buram, bajunya kumal<span style=""> </span>melintas di hadapanku. Berjalan tergesa-gesa menenteng karung<span style=""> </span>goni putih bertongkat besi baja, berukuran 1 meter. Melangkahkan kaki menuju tong sampah yang<span style=""> </span>letaknya tidak jauh dari pinggiran jalan tempat di mana <span style=""> </span>saya berdiri <span style=""> </span>menunggu tumpangan ojek.<br /><br />mengais sampah, memungut gelas-gelas aqua, kertas, dan baju-baju bekas yang masih terlihat lusuh. Satu persatu dimasukkan dalam karung. <span style=""> </span>Bergegas saya menghampirinya dan menyapanya, "siang bu?" tinggal dekat sini ya? <span style=""> </span>tidak...<span style=""> </span>“Jauh di ujung sana”. Ibu dari mana? <span style=""> </span>dari kampung, Jawabnya.</p> <p style="font-family: georgia;" class="MsoNormal">Jangan dekat-dekat, ibu bau sampah dan kotor. Sepanjang hari ini ibu sudah berjalan jauh mencari dan mengumpulkan <span style=""> </span>sampah-sampah ini. Ucapnya.<span style=""> </span>Nan jauh disana sebuah harapan. Hanya untuk makan pun hidup mencari makan semakin susah. Kerja keras tak henti-hentinya ia tekuni. <span style=""> </span>Setiap hari ia bangun pagi, berjalan menelusuri jalan demi jalan,<span style=""> </span>mencari sampah. Itulah kerjaan ibu Sugi. </p> <p style="font-family: georgia;" class="MsoNormal">Andaikan hidup ini bergelimang materi melulu, andaikan hidup ini adil untuk semua, pasti ibu tersebut tidak melakukan kerja ini. Tapi itu tak mungkin, sebab ia hanya bisa<span style=""> </span>mengais sampah, menggali tumpukan sampah, membolak-balikkan sampah, memilih <span style=""> </span>dan memasukkannya ke dalam karung goni <span style=""> </span>itu. </p> <p style="font-family: georgia;" class="MsoNormal">“Pahit memang”, ia terlahir di tengah keluarga yang tak pernah mempunyai status ekonomi yang cukup, sementara harga makan dan minun semakin melambung <span style=""> </span>tinggi. Penghasilan pun sangat kecil dengan berteman sampah ia <span style=""> </span>hanya <span style=""> </span>bisa beli makan secukupnya. Tak ada yang berharga selain makan untuk hari <span style=""> </span>ini <span style=""> </span>mengisi perut biar bisa hidup <span style=""> </span>hari ini dan esok. Lingkaran<span style=""> </span>kekerasan tak berhenti disitu, kadang ia kerap kali dipecungdangi oleh anak-anak jalanan yang juga sama-sama lapar. Belas kasihan rupanya tak berpihak pada ibu Sugi sebuah ketidakadilan telah menimpa hidupnya, beban ganda telah ia pikul, kekerasan telah ia nikmati semua menjadi tidak adil buat Ibu Sugi. </p> <p style="font-family: georgia;" class="MsoNormal">Terasa ada beban berat yang <span style=""> </span>ia tanggung. <span style=""> </span>Meninggalkan kampung halaman, adalah keberanian yang ia kumpulkan, <span style=""> </span>terpisah dari <span style=""> </span>sanak saudara <span style=""> </span>dan <span style=""> </span>keluarga. Hidup sendiri, sepi dan kelam. <span style=""> </span>Bersembur <span style=""> </span>malam nan temaran. Mimpi hidup di kota jauh lebih susah, dari pada hidup di kampung. Pilu dan peluh bersenandung <span style=""> </span>dalam hati. <span style=""> </span>Andaikan pemerintah mau berbagi mungkin derita hidup <span style=""> </span>tak seperti ini, andaikan keberpihakan masih bersama orang seperti ibu Sugi, pasti ia tak memikul kerja seperti ini. andai tanahnya masih ada digenggamannya mungkin ia tak sesedih ini. </p> <p style="font-family: georgia;" class="MsoNormal">Ia hijrah ke Jakarta hanya untuk mengadu nasib siapa tahu keberuntungan berpihak padanya. Itu mimpi ia, ketika pertama kali datang ke Jakarta. Di kampung halamannya <span style=""> </span>dulu, <span style=""> </span>ia hidup dengan bercocok tanam. <span style=""> </span>Pertanian tradisional menjadi andalannya, memproduksinya dan memasarkannya <span style=""> </span>adalah kerja yang <span style=""> </span>menyenangkan sekaligus mendamaikan hati, tapi….. itu dulu! <span style=""> </span>Ternyata ibu Sugi, membutuhkan tanah dan hasilnya untuk kelangsungan hidup. <span style=""> </span>Membutuhkan tanah untuk tempat tinggal dan hidup bersama sanak saudara. </p> <p style="font-family: georgia;" class="MsoNormal">Bagi suatu negara agrarian seperti Indoensia ini, tanah mempunyai fungsi yang amat penting <span style=""> </span>untuk <span style=""> </span>kemakmuran <span style=""> </span>dan <span style=""> </span>kesejahteraan. <span style=""> </span>Ibu Sugi pergi jauh meninggalkan kampung kelahirannya sebab <span style=""> </span>diatas tanahnya <span style=""> </span>telah berdiri mall besar yang menjulang <span style=""> </span>tinggi. Kekayaan alam telah disulap menjadi modal dalam ekonomi produksi kapitalis <span style=""> </span>dan <span style=""> </span>kaum tani diubah menjadi buruh upahan dan bahkan menjadi pengais sampah sebab sumber makanannya telah berubah<span style=""> </span>menjadi mall. Tanah telah berubah fungsi dari alat produksi subsistensi rakyat menjadi alat produksi bagi kapitalis. </p> <p style="font-family: georgia;" class="MsoNormal">Jelas terlihat bahwa antara pengusaha dan modal besar<span style=""> </span>dengan negara telah kawin-mawin mempunyai pertemuan yang saling menguntungkan satu sama lain. Ketiga<span style=""> </span>pihak ini bersekutu demi pencapaian kepentingan bersama. </p> <p style="font-family: georgia;" class="MsoNormal">Terlantarlah Ibu Sugi, beralih propesi yang dulunya bersinergi dengan tanah, kini harus bergelut <span style=""> </span>dengan sampah. <span style=""> </span>Mengais dan mengais<span style=""> </span>sampah telah ia tekuni sejak ia berdomisili di kampung baru Cilincing. Kota yang dekat di hati nan jauh dimata. Tempat dimana Ibu Sugi hidup, gubuk kecil mungil, beratapkan rumbia, berdinding <span style=""> </span>papan bekas, bergelantungan karung<span style=""> </span>goni <span style=""> </span>tak <span style=""> </span>ada tikar pun kursi, berlantaikan tanah merah <span style=""> </span>beralaskan koran.<span style=""> </span>Hidup sendiri,<span style=""> </span>sunyi dan sepi. </p> <p style="font-family: georgia;" class="MsoNormal">“Damai”. Itu telah jauh dari anganku, <span style=""> </span>“damai”, itu hanya <span style=""> </span>ada ketika hasil pertanianku masih berlimpah. “damai”, itu telah hilang.<span style=""> </span>Andaikan pengurus negara ini tahu……!</p> <div style="text-align: justify;">“Damai”, itulah kata yang <span style=""> </span>terucap <span style=""> </span>ketika pertama kali bertemu dengan Ibu Sugi, sangat <span style=""> </span>damai hidup ini andaikan bisa memenuhi kebutuhan hidup, kebutuhan<span style=""> </span>sandang-pangan. Dulu ia bisa memberikan kedamaian kepada keluarga. Dulu ia bisa menikmati lezatnya makanan. Sebab ia memiliki tanah<span style=""> </span>untuk menanam kebutuhan makan. <span style=""> </span>Dulu ia memiliki pekerjaan dengan mengelola lahan pertanian, di tanah itulah ia bergelut dan bermandikan keringat untuk menghasilkan uang <span style=""> </span>dan makan.<br /></div><p style="font-family: georgia;" class="MsoNormal"><br />Tapi itu terjadi tahun 2000-an, setalah lahan saya lenyap, kata damai itu hilang dalam hidup saya. Makan pun tak tentu, pekerjaan pun jadi berubah. Dulu saya bekerja berteman <span style=""> </span>dengan tanah, sayuran, cabai hijau, dan tomat. Sekarang saya bekerja berteman dengan sampah, bau busuk, lumpur merah <span style=""> </span>Cilincing dan genangan air di kala banjir datang gubuk saya tergenang air. <span style=""> </span>Kerja-kerja itu, harus saya lalui sebab tak ada pilihan lain, bekerja mengais <span style=""> </span>sampah <span style=""> </span>adalah <span style=""> </span>keahlian saya saat ini. Sambil berlalu<span style=""> </span>meninggalkan saya, meninggal sejuta kegundahan dan keprihatinan.<span style=""> </span>Pergilah engkau wahai perempuanku yang tegar, ucapku dalam hati.<br /><br /><!--[if !supportLineBreakNewLine]--><br /><!--[endif]--></p>Mia Djalilhttp://www.blogger.com/profile/07722946553172624091noreply@blogger.com2